Ticker

6/recent/ticker-posts

Situs Batu Pangsujudan Kutamaya Keraton Sumedanglarang

Floklore :
Ceuk ujaring carita kolot, ieu Batu Pangsujudan paragi shalat sabab harita ajaran syaré'at agama Lahir geus mimiti dianut ku Luluhur Sumedang kitu deui jaman Ratu Pucuk Umun ngajodo ka Pangéran Santri, matak di wewengan Karaton Kuta Maya harita ngadeg Tajug disebut Tajug Kuta Maya anu di jerona aya batu pangsujudan paragi salat, malah riwayatna éta batu téh kungsi dijadikeun Batu Palangka / batu panobatan Pangéran Angkawijaya nalika dibenum jadi Naléndra Sumedang kalayan gelar Prabu Geusan Ulun sakumaha kailaharan Raja-raja Pajajaran nalika dibenum kudu diuk dina Batu Palangka kusabab Batu Palangka Raja Pajajaran diboyong ka Banten samentara Makuta dipasrahkeun ka Sumedang tur sumedang didaulat jadi panerus Pajajaran, antukna Batu Pangsujudan ieu nu dipaké Batu Palangka pangberkatanana. (peun)

ngan hanjakal satutasna juru kuncina ngantunkeun can aya juru pulasara gagantina anu antukna kurang karawat, basa kuring jeung barudak SINOM ka dinya katara jukut ngajejembrung, sanggeus diberesihan katingali batu téh ngan sakikituna, rada hareneg bet jauh tina sawangan, ceuk kolot batu téh baheula basa zyarah cenah ukuranna 1 x 1,5 meter, kari-kari ayeuna ngan ukur batu dua siki ukuran 60 cm pasagi anu dipelur. aya kamungkinan Batu téh geus henteu gembleng, katara batu nu aya saurat dina harti tadina salémpéngan, bagian tengahna nu euweuh téh teuing leungit teuing mun ka kubur, nu jelas mun ieu batu pangsujudan kuduna aya bagian teungah nu jadi dadampar tuur nu jadi bagian anggota sujud nu kudu antel. mugia ka hareupna ieu situs sajarah bisa kapiara deui, tur riwayat sajarahna kaguar deui nu leuwih gemet. (Ahmad Jailani, 19-9-2018)

Untuk menelesuri sejarah keberadaan batu tersebut tersebut, kita awali dari Sunan Tuakan. Sunan Tuakan memiliki tiga putri, yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482 – 1521) Raja Pajajaran yang kelak menurunkan Nyi Mas Cukang Gedeng Waru istri pertama Prabu Geusan Ulun, putri kedua Sunan Tuakan yaitu Ratu Sintawati alias Ratu Nyi Mas Patuakan dan putri ketiga Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya. Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang bernama Ratu Sintawati alias Ratu Nyi Mas Patuakan (1462 – 1530) sebagai raja Sumedanglarang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda atau Batara Sakawayana raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh.




1. Pangeran Koesoemadinata I atau Pangeran Santri atau Maulana Solih Mp. 1530-1578 

Sunan Corenda mempunyai dua orang permaisuri yaitu Ratu Sintawati dari Sumedang dan Ratu Mayangsari puteri Langlang Buana dari Kuningan. Dari pernikahannya dengan Ratu Sintawati mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang bergelar Ratu Pucuk Umun, sedangkan dari Mayangsari memperoleh puteri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung yang kemudian menikah dengan Rangga Mantri yang dikenal sebagai Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umun Talaga) putera Munding Surya Ageung.

Masa pemerintah Ratu Nyi Mas Patuakan atau Ratu Sintawati Sumedanglarang menjadi bawahan kerajaan Pajajaran dan menjadi benteng pertahanan Sunda Pakuan. Pada masa ini kerajaan Galuh dibagi menjadi dua, Galuh Kawali dikuasai oleh Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan dikuasai oleh Prabu Susuk Tunggal dan pada tahun 1539 agama Islam mulai menyebar di Sumedang. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran / Muhammad, putra dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) keturunan dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Baghdad.

Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kelak Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata puteri dari Nyi Mas Patuakan. Setelah Nyi Mas Patuakan wafat digantikan oleh puterinya Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata (1530 – 1578). Pada masa ini pengaruh Islam bergitu kuat menyebar di Sumedang. Putra Pangeran Palakaran yaitu Pangeran Santri datang ke Sumedanglarang untuk menyebarkan agama Islam melanjutkan tugas ayahnya. Pangeran Santri dalam penyebaran Agama Islam mengenalkan Seni Gembyung sebagai media dalam mensyiarkan agama Islam. Pangeran Santri mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan budaya sehingga tradisi adat istiadat masyarakat tetap berjalan tanpa menghancurkan nilai-nilai budaya aslinya.

Pangeran Santri  (Rd. Sholih) menikah dengan Ratu Inten Dewata setelah menikah bergelar Ratu Pucuk Umun (1530 – 1578), yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530) Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumadinata. Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati dan Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedanglarang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya.


2. Pangeran Kusumadinata II / Prabu Geusan Mp. 1578 - 1610

Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, dikaruniai enam putera, yaitu :
1. Raden Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
2. Kyai Rangga Haji.
3. Kyai Demang Watang.
4. Santowan Wirakusumah (Dalem Pagaden – Subang)
5. Santowan Cikeruh.
6. Santowan Awi Luar.

Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah dibeberapa daerah termasuk Sumedang. Melemahnya Pajajaran akibat serangan Banten beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten dan kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka. Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang, maka berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi, tengah perjalanan rombongan dibagi dua, ronbongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menuju ke arah pantai selatan.

Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sangyang Kondanghapa,   dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati (1357 – 1371), Mahkota tersebut kemudian di serahkan kepada penguasa Sumedanglarang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan.

Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya.

Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian dari Jawa Barat.

Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati.

Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna.

Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi”.Seperti diberitakan dalam Pustaka Nusantara III/1 (h.219) dan Pustaka Kertabhumi 1/2 (h.68) “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadacai cuklapaksa wesakhamasa sahasra limangantus punjul siki ikang cakakala”.

Ibukota Pajajaran jatuh ke tangan pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten dan Cirebon. Pajajaran Burak, dalam penyerangan tersebut tentara Banten hanya mendapatkan keadaan keraton pakuan yang kosong telah ditinggalkan oleh penghuninya dan tentara Banten hanya membawa batu penobatan raja-raja Sunda Sriman Sriwacana ke Istana Surasowan Banten kemudian digunakan sebagai tempat penobatan raja-raja Banten, batu ini dikenal sebagai Watu Gilang. Dengan dibawanya batu tersebut dari Pajajaran menandakan berpindahnya legitimasi kekuasaan dari Pajajaran ke tangan Banten tetapi kenyataannya atas kekuasaan wilayah Pajajaran berada di tangan Sumedanglarang.

Pangeran Santri wafat pada tanggal 10 bagian gelap bulan Asuji tahun 1501 saka (2 Oktober 1579) dan dimakamkan di Pasarean Gede kelurahan Kota Kulon Sumedang dan setelah wafat Ratu Pucuk Umun dimakamkan disamping makam suaminya.


Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati.

Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna.

Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi”.Seperti diberitakan dalam Pustaka Nusantara III/1 (h.219) dan Pustaka Kertabhumi 1/2 (h.68) “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadacai cuklapaksa wesakhamasa sahasra limangantus punjul siki ikang cakakala”.

Ibukota Pajajaran jatuh ke tangan pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten dan Cirebon. Pajajaran Burak, dalam penyerangan tersebut tentara Banten hanya mendapatkan keadaan keraton pakuan yang kosong telah ditinggalkan oleh penghuninya dan tentara Banten hanya membawa batu penobatan raja-raja Sunda Sriman Sriwacana ke Istana Surasowan Banten kemudian digunakan sebagai tempat penobatan raja-raja Banten, batu ini dikenal sebagai Watu Gilang. Dengan dibawanya batu tersebut dari Pajajaran menandakan berpindahnya legitimasi kekuasaan dari Pajajaran ke tangan Banten tetapi kenyataannya atas kekuasaan wilayah Pajajaran berada di tangan Sumedanglarang.

Pangeran Santri wafat pada tanggal 10 bagian gelap bulan Asuji tahun 1501 saka (2 Oktober 1579) dan dimakamkan di Pasarean Gede kelurahan Kota Kulon Sumedang dan setelah wafat Ratu Pucuk Umun dimakamkan disamping makam suaminya.


Kisah Hanjuang di Kutamaya

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu (Pangeran Girilaya) penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik.

Harisbaya merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton – Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di Pajang.

Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih.

Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.

Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang Prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedanglarang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup? Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai.
 




Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedanglarang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.
 
Makam Pangeran Geusan Ulun di Dayeuh Luhur Desa Ganeas


Jaya Perkosa kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah menanyakan kenapa Sang Prabu meninggalkannya tanpa melihat pohon hanjuang dulu, setelah mendengar penjelasan dari Prabu Geusan Ulun bahwa pindahnya Ibukota atas anjuran Nangganan maka Djaya perkosa marah kepada Nangganan karena merasa di khianati oleh saudaranya bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada Prabu Geusan Ulun. Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih diberikan ke Cirebon. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya.


Batu Tongkat Kabuyutan di Dayeuh Luhur

Sebelum menikah dengan Harisbaya, Prabu Geusan Ulun sudah mempunyai seorang istri yaitu Nyi Mas Gedeng Waru puteri Sunan Pada dari Sindangkasih, dari istri pertamanya ini memiliki 14 anak, yaitu :

1. Pangeran Rangga Gede.
2. Arya Wirareja.
3. Kiai Rangga Gede.
4. Kiai Patrakelasa.
5. Ngabehi Watang.
6. Arya Rangga Pati Haur Kuning.
7. Nyi Demang Cipaku.
8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda.
9. Nyi Mas Rangga Wiratama.
10. Rangga Nitinagara.
11. Nyi Mas Rangga Pamande.
12. Nyi Mas Dipati Ukur.
13. Pangeran Dipati Kusumahdinata.
14. Pangeran Tegal Kalong.
dan istri kedua Prabu Geusan Ulun yaitu Nyi Mas Pasarean dikaruniai seorang puteri Nyi Mas Demang Cipaku sedangkan dari Harisbaya istri ketiga Prabu Geusan Ulun tidak mempunyai keturunan, dengan demikian Pangeran Suriadiwangsa merupakan anak tiri Prabu Geusan Ulun, melainkan putera dari Pangeran Girilaya Cirebon karena waktu Harisbaya diboyong ke Sumedang dalam keadaan hamil 2 bulan. Setelah Prabu Geusan Ulun wafat di makamkan di Dayeuh Luhur, selain itu terdapat pula makam Ratu Harisbaya.


Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.


Oleh : Team Penelusuran Kepurbalakalaan, Situs, Makam dan Sejarah Dalam Rangka Sadar Budaya, Sadar Wisata, Penguatan Kelembagaan Paguyuban Seni dan Budaya Di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Selatan Kabupaten Sumedang

=========
Sumber Bahan Pustaka : 

- Blog Museum Prabu Geusan Ulun "Yayasan Pangeran Geusan Ulun" (YPS) 
- Layang Darmaraja
- Nyukcrug Galur Sumedang
- dll
 

Posting Komentar

0 Komentar