IDENTIFIKASI SITUS DAN MAKAM DI KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG
Oleh :
1. Dedi E Kusmayadi, BE
2. Ivan Handiman
Gmail : sumedangpressrilis@gmail.com
PAGUYUBAN KEBUDAYAAN
KECAMATAN SUMEDANG UTARA
BIDANG SITUS DAN SEJARAH
1. DASAR PEMIKIRAN
Perkembangan budaya suatu masyarakat saat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah budayanya. Setiap masyarakat memiliki sejarah budaya yang beda yang menyebabkan satu sama lain memiliki ciri yang berbeda. Peran sejarah budaya dapat dikatakan sebagai pembentuk watak dan kepribadian yang bersifat khas, selain menjadi salah satu faktor yang menentukan arah perkembangan selanjutnya.
Gerak langkah dilandasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. pengetahuan mengenai sejarah budaya amatlah penting bagi setiap warganya, khususnya bagi kelompok generasi muda yang menghuni di wilayah tersebut. Dengan mengenal sejarah budaya berikut peninggalan–peninggalannya akan menjadi pengetahuan tentang masyarakatnya dan juga pembentukan kepribadian yang sesuai dengan budaya masyarakatnya. Pengetahuan tersebut pada masa lalu dituturkan dalam bentuk cerita atau dongeng berkenaan dengan lingkungannya. Saat ini pengetahuannya diajarkan secara formal maupun melalui berbagai informasi media masa secara non formal. Dengan demikian, pengetahuan sejarah budaya semakin menyebar dan menjadi pengetahuan bersama, khususnya di Kecamatan Sumedang Utara.
1.1 Petilasan (Situs) dan Kabuyutan
Patilasan-patilasan atau kabuyutan merupakan tempat berlangsungnya proses sejarah atau kegiatan keagamaan, yang selanjutnya petilasan (situs) dan Kabuyutan dikeramatkeun oleh masyarakat.
Literatur Sunda menegaskan yang disebut dengan Kabuyutan sama dengan maandala yaitu tempat mencari atau mendidik keilmuan. Berdasarkan kepada penemuan masayarakat petilasan-petilasan karuhun mempunyai sumber kekuatan gaib.
Yang disebut petilasan itu adalah artefak, ekofak, situs makam karuhun yang mengandung subtasial, karena itu situs tidak bisa dipindahkan sebab ada tiga unsur terintegrasi yaitu : material, spiritual dan sakral. Beda dengan makam secara harfiah makam dapat dipindahkan dan diperbaiki dengan aturan agama dan adat setempat.
Material artinya perkara-perkara yang nyata (faktual) terlihat wujudna. Spiritual artinya mengandung pancaran kejiwaan atau suasana kebatinan, sedangkeun yang disebut Sakral yaitu langgeng. Kaabadiannya menjadi dasar keyakinan, bahwa situs sejarah mesti dirawat supaya tidak dirusak oleh napsu manusa, yang sengaja baik secara perorangan maupun kelompok yang mempunyai itikad untuk memusnahkan petilasan-petilasan sejarah. Bercampur baurnya tiga tersebut unsur bersatu menjadi satu memancarken energi mistik alam semesta serta ada kaitannya dengan mahluk-mahluk gaib (astral) yang menjaga tempat-tempat keramat.
Tata diri keyakinan masyarakat kepada perkara-perkara gaib (supranatural) hidup, tumbuh dan padamnya, yang dilakukan dengan upacara-upacara (ritus) yang ditopang oleh syarat norma ajaran dengan berbakti, membaku agar berpijak dalam jalan kebenaran.
Hukum kebenaran itu terasa oleh rasa, terjangkau oleh pemikiran (logis), dan terasa oleh hati, nyata untuk orang-orang yang yakin, sebaliknya untuk orang-orang yang sangsi kepada perkara-perkara gaib, tentu hilang rasa membenarkannya dengan anggapan tahayul.
Mengenai hal-hal kejadian luar biasa (diluar nalar pemikiran manusa) dianggap keilmuan kasaktian, gambaran nyata tingkah laku karuhun yaitu dengan membangun keseimbangan antara rohani dan jasmani, juga benar-benar arif bijaksana, orientasi pemikiran spiritual sampai menciptakan kasalehan ritual dan kasalehan sosial.
Telaah Muclas dalam Al Qur’an menegaskan yang dsebut benar ada empat perkara yaitu, benar kata ilmu pengetahuan, benar dari pengalaman, benar kata / menurut panca indra, perkara tersebut bergantung kepada tajamnya rasa (sensitivitas) indra masing-masing.
Benar kata ilmu ilmiah berdasarkan kepada bukti-bukti nyata eksperimental terstruktur uji metodologi. Benar kata filsafat yaitu hasil dari proses dalamnya mendalami rasional, sistematika, universal, radikal, sifat subjektif dan benarnya wahyu yaitu ilmu dari Allah tergantung daripada keimanan (subjektif).
Praktek-praktek perjalanan spiritual yang dilaksanakan oleh raja-raja, atau pemingpin meliwati upacara di tempat-tempat keramat tujuannya untuk mencari kesaktian dalam rangka memepertahankan nagara dalam ancaman bahaya, sedangkan di kalangan resi mencari kesucian jati diri sejati supaya menjadi sempurna menjadi manusia. Masyarakat yang melakukan upacara-upacara sakral (magis) berdasarkan kepada keyakinan bahwa ruh-ruh karuhun ngaping ngajaring tur ngauban kahirupan. Dimensi alam gaib bisa ditempuh melewati perjalanan spiritual untuk mendatangkan kulminasi puncak kaarifan yang sempurna.
1.2 LETAK GEOGRAFIS KECAMATAN SUMEDANG UTARA
Geografis kawasan Sumedang Utara merupakan kawasan yang pada masa lampau termasuk ke dalam Kawedanaan, dan sekarang sudah Wilayah Kecamatan Sumedang utara dikelilingi oleh wilayah :
- Sebelah Utara : Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Cimalaka
- Sebelah Selatan : Kecamatan Sumedang Selatan
- Sebelah Barat : Kecamatan Rancakalong
- Sebelah Timur : Kecamatan Cisarua
Demikian pula posisi wilayah Sumedang yang strategis, menghubungkan pesisir utara dan pedalaman Jawa Barat, memberikan dugaan bahwa di wilayah ini pada masa lampau pernah dimanfaatkan sebagai jalur masuknya pengaruh budaya dari luar sehingga melahirkan beberapa benda budaya yang merupakan hasil percampuran budaya asli dan pendatang, serta tidak tertutup kemungkinan adanya budaya lama yang masih bertahan yang muncul kembali. Kondisi demikian melahirkan artefak tinggalan budaya baik dalam bentuk struktur permukiman, transportasi, perdagangan, teknologi dan persebaran situs yang beragam.
Dalam studi arkeologi situs tinggalan budaya dapat diklasifikasi, berdasarkan fungsi dan jenis aktivitasnya, seperti situs habitasi, situs perdagangan, situs penjagalan, situs penambangan, situs penguburan, situs seremonial, dan situs perbengkelan (Sharer, 1979: 68-100). Demikian pula persebaran situs-situs apabila dilihat dari aspek keletakannya pada dasarnya juga sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia dalam memilih tempat untuk melakukan aktivitas baik sebagai tempat hunian maupun pemujaan sesuai kebutuhan hidupnya. Hal ini juga tidak lepas dari pertimbangan keberadaan sumberdaya alamnya.
Terdapatnya sebaran tinggalan budaya berupa fitur punden dan kubur di wilayah Sumedang Utara yang terletak pada kordinat 06o 42’ 6,72” LS; 107o 57’ 13,19” BT dan ketinggian 318 meter di atas permukaan laut (mdpl), pada dasarnya merupakan suatu hasil aktivitas manusia masa lampau. Tinggalan budaya materi berupa sisa-sisa hasil kegiatan manusia baik yang berupa struktur batu atau lainnya, tetapi diduga sebagai tinggalan budaya adalah merupakan salah satu unsur yang memberikan indikasi adanya aktivitas manusia yang pernah berlangsung di wilayah ini pada masa lampau. Demikian pula sisa-sisa struktur batu di suatu situs memberikan indikasi bahwa di lokasi tersebut pernah berlangsung suatu aktivitas membangun suatu bentuk dengan pola tertentu yang berkaitan dengan fungsi situs. Di wilayah ini berhasil diinventarisir sejumlah situs dengan artefak berbahan batu alam, batu papan (slab), punden.
Demikian halnya sebagian besar penempatan situs-situs tinggalan budaya di tempatkan pada lahan yang tinggi dan jauh dari pemukiman. Tradisi yang berasal dari masa pra Islam ini terus berlanjut sampai sekarang. Apabila pernyataan tersebut dikaitkan dengan pendapat Sukendar, bahwa tempat yang tinggi merupakan tempat bersemayam arwah nenek moyang berkaitan dengan kepercayaan yang telah ada sejak pra-Islam (Sukendar, 1981: 85). Alasan lain pemilihan lokasi bangunan makam di gunung atau bukit ini tampaknya juga atas pertimbangan kesakralan tanahnya (Mustopo, 2001: 185).
Berdasarkan kenyataan tersebut, permasalahan yang diangkat pada tulisan ini adalah, untuk mengungkap situs-situs tradisi megalitik yang masih berlangsung hingga sekarang ini yang berhubungan dengan konsepsi religi. Penelitian ini bertujuan menggali sisa-sisa tradisi berlanjut dalam kehidupan masyarakat walau Islam sudah berkembang dan dianut oleh masyarakatnya pendukungnya.
Pembahasan pada penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif, sehingga survei dilakukan untuk memperoleh data dan mengetahui keadaan objek secara langsung, kemudian diperoleh data yang dapat dianalisis untuk mengetahui perpaduan budaya yang terdapat pada situs-situs arkeologi tersebut. Pengumpulan data dilakukan di wilayah Buahdua dan sekitarnya. Interpretasi dilakukan dengan mengintegrasikan bentuk- bentuk nisan dengan hasil wawancara dan studi pustaka yang berkaitan dengan sejarah Islamisasi dan tradisi- tradisi lokal yang berkembang di wilayah penelitian.
2. LANDASAN HUKUM DAN KONSTITUSI
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851).
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168)
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan ke dua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679)
5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Cagar Budaya yang Dilestarikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 308)
6. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 125) ;
7. Peraturan Bupati Sumedang No.113 Tahun 2008 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda.
8. Perda Kabupaten Sumedang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pelestarian Bangunan Struktur dan Kawasan Cagar Budaya Kabupaten Sumedang
3. IDENTIFIKASI DAN PEMBAHASAN CAGAR BUDAYA, SITUS DAN MAKAM DI KECAMATAN SUMEDANG UTARA
Tinggalan budaya materi berupa artefak atau fitur merupakan suatu indikasi adanya aktivitas manusia yang pernah berlangsung di suatu lokasi. Demikian pula adanya batu datar, batu berdiri, fitur struktur batu dengan batu tegak atau menhir merupakan indikasi adanya pemanfaatan sumber daya alam yang pernah digunakan untuk kegiatan budaya, baik yang bersifat profan atau sakral.
Hal ini memberikan gambaran bahwa pada masa lampau wilayah Sumedang Utara dan sekitarnya pernah dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat pendukung budaya tradisi megalitik tempat melakukan aktivitas ritual. Pemilihan lokasi Sumedang Utara sebagai tempat beraktivitas, tentunya didasari oleh berbagai pertimbangan seperti letak yang strategis dan keadaan alam yang memungkinkan, misalnya dekat dengan sumber air, dikelilingi perbukitan sebagai pertahanan dan tanah yang subur. Walaupun Islam masuk dan berkembang, tetapi anasir-anasir budaya lokal tidak hilang begitu saja dalam kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Hingga sekarang ini, sebagian masyarakat masih mempertahankan tradisi pada beberapa situs makam kuna. Berdasarkan informasi penduduk situs-situs makam atau kubur di kawasan Sumedang Utara dan sekitarnya masih menggunakan nisan batu tegak merupakan salah satu bentuk kontinuitas tradisi megalitik.
0 Komentar