Ticker

6/recent/ticker-posts

Makam Pangeran Tmg. Tegalkalong (Rd. Aria Kusumah) di Pemakaman Tegalkalong Gg Tegalhurip Kelurahan Talun

Makam Tumenggung Tegalkalong dan para syuhada yang sahid dalam peristiwa penyerangan Mesjid Tegalkalong berlokasi di Makam Umum Tegalkalong Gg Tegalhurip Kelurahan Talun. Kuncen Makam Pangeran Tmg. Tegalkalong (Rd. Aria Kusumah) dan para Suhada Yang Gugur Sahid Ketika Tragedi Berdarah Penyerangan Mesjid Tegalkalong, adalah Pak Otong Sutisna yang beralamat di Jalan Sebelas April Gg Kamasan RT 02/RT 09 Gg. Tegalhurip Kelurahan Talun. 

Jirat makam Tumenggung Tegalkalong terbuat dari Batuan Ukiran Nisan Tempo dulu, luas makam yang meninggal syahid dalam peristiwa penyerangan mesjid Tegalkalong kurang lebih luas tanahnya antara 6 x 9 m2, dan makam Tumenggung Tegalkalong berada dalam cakupanya luasnya, dengan ukuran makam pada umumnya. 








Selain makam Tmg. Tegalkalong di komplek Pemakaman Tegalkalong ini juga ada makam Dalem Pagaden Subang (Dalem Panengah atau Dalem Nitinagara 2).






1. Ulasan Sejarah  Peristiwa Penyerangan Mesjid Tegalkalong
Untuk membahas Peristiwa Penyerangan di Mesjid Tegalkalong dapat dilihat pada masa pemerintahan pangeran Panembahan sebagai berikut :

Setelah Rangga Gede wafat tahun 1633, kedudukannya digantikan oleh puteranya bernama Raden Bagus Weruh. Beliau disebut juga Pangeran Dipati Rangga Gempol II Kusumadinata, dikenal juga sebagai Rangga Gempol II. Ia menjadi bupati Sumedang selama 23 tahun, dari tahun 1633 – 1656.

Pada masa pemerintahan Rangga Gempol II terdapat beberapa kejadian penting berkait dengan pemerintahan dan kewilayahan. Salah satunya adalah pada  masa  pemerintahan  Rangga Gempol  ini  terjadi  dua  kali  reorganisasi pemerintahan.  Reorganisasi  pemerintahan  ini  dilakukan  antara lain  berkait dengan situasi Kesultanan Mataram yang berupaya mengefektifkan serangan-serangan ke Batavia setelah beberapa kali gagal dan upaya menata kembali situasi Priangan setelah terjadi pemberontakan Dipati Ukur.

Pada tanggal 16 Juli 1633 (dalam penanggalan Jawa bertepatan dengan tanggal 9 Muharram tahun Alip) Sultan Agung mengeluarkan piagem (surat keputusan), yang isinya pembentukan tiga kabupaten baru disertai penunjukan para bupatinya. Ketiga kabupaten tersebut adalah :
1. Kabupaten Sukapura dipimpin oleh Bupati Tumenggung Wiradadaha
2. Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupti Tumenggung Wira Angun-angun
3. Kabupaten Parakanmuncang dipimpin oleh Tumenggung Tanubaya.
Dengan  demikian,  di  bekas  kerajaan  Sumedanglarang  itu  terdapat  empat kabupaten, yaitu Sumedang, Sukapura, Bandung dan Sukapura. 

Terhadap  kebijakan  Sultan  Agung  tersebut  Rangga  Gempol II  tidak menyukainya,  karena besaran    kekuasaan    Rangga    Gempol   II    menjadi berkurang. Ini pun berarti bahwa wilayah Sumedang sejak surat keputusan itu dikeluarkan   menjadi   lebih   kecli bila dibandingkan  dengan  maas-masa sebelumnya. Akibat dari kebijakan ini pun jumlah Sumedang menjadi sangat berkurang jumlah cacah yang  dimiliki. 

Kekecewaan Rangga Gempol II semakin bertambah ketika Sunan Amangkurat  I,  penguasa Kesultanan  Mataran  yang  menggantikan ayahnya, Sultan Agung. Sunan Amangkurat I (Sunan Tegalwangi)  mengeluarkan dua kebijakan penting berkait dengan Priangan. Pertama, penghapusan jabatan Wedana Bupati; kedua wilayah Mataram bagian barat ini pun dibagi menjadi 12 ajeg (setara dengan kabupaten). Dengan dihapuskannya jabatan Bupati Wedana berarti kedudukan  bupati Sumedang  menjadi  sama  dengan  bupati- bupati  lain.  Dengan pemagian  12  ajeg  pun  menjadikan  besaran kekuasaan Sumedang  pun  semakin  kecil  lagi. Oleh  karena  itu,  sebagai  por tes  atas kebijakan   itu,   Rangga   Gempol  I   memundurkan diri  sebagai   bupati.   Ia menunjuk anaknya, Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) sebagai pengganti  Pangeran Panembahan Kusumadinata, Rangga Gempol III (1656-1705).

Rangga  Gempol  III,  meskipun  bergelar  pangeran,  gelar  tertinggi  di antara  bupati-bupati  Priangan,   sejak  tahun  1657  kedudukannya  sederajat dengan bupati-bupati lain sebagai konsekuensi dihapuskannya jabatan Bupati Wedana. Sebagai kompensasi atas hilangnya jabatan sebagai Bupati Wedana, Sultan Amangkurat I member gelar “panembahan” kepada Rangga Gempol III, sehingga namanya menjadi Pangeran Panembahan Kusumadinata. Oleh karena itu, Rangga Gempol III ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan.   Pangeran Panembahan merupakan bupati terlama memerintah Sumedang. Ia memerintah hampir 50 tahun.

Selama Pangeran Panembahan menjadi bupati, terjadi banyak peristiwa penting, baik dalam lingkungan internal kabupaten Sumedang sendiri, maupun di  luar  lingkungan  kabupaten  Sumedang  namun  berpengaruh  juga terhadap kondisi internal Sumedang. Kejadian di luar lingkungan Sumedang yang berpengaruh  besar  terhadap  kondisi  internal  Sumedang  adalah terjadinya dinamika   politik   di   lingkungan  Kesultanan   Mataram  sepeninggal  Sultan Agung, agresivitas Banten yang berambisi untuk merebut kembali Batavia dari Kompeni dan menguasai Sumedang, sikap-sikap Kompeni yang selalu memanfaatkan konflik yang terjadi di Mataram dan Banten untuk kepentingan VOC melalui politik divide et impera-nya, dan sebagainya. Kejadian-kejadian seperti  itu  sangat  memengaruhi pola  aliansi,  siapa  bergabung dengan  siapa untuk melawan siapa. Yang lebih menarik lagi adalah tidak ada pola aliansi yang   permanen,   tetapi   selalu   didasarkan   pada   kepentingan-kepentingan strategis. Oleh karena itu, pola aliansi itu sering  berubah-ubah. Namun dari semua dinamika itu, ada satu kata kunci yng tidak terbantahkan adalah yang teruntungkan adalah selalu pihak Kompeni.

Saat Pangeran Panembahan menjadi bupati, kekuasaan Mataram terus melemah akibat konflik internal di lingkungan keraton Mataram dan serangan dari pihak luar. Konflik internal terjadi karena saling berebut tahta kerajaan antara Sunan Amangkurat I dengan saudaranya, Pangeran Puger. Serangan dari luar  berupa  serangan  Trunajaya dari  Madura  yang  dibantu  oleh Karaeng Galesung dari Makasar. Guna mengatasi kemelut tersebut, Sunan Amangkurat I meminta bantuan Kompeni.

Kompeni menyanggupi membei bantuan dengan sejumlah tuntutan. Untuk  itulah  Kompeni  mengutus Residen  Jepara,  James  Cooper, pergi  ke Mataram dengan membawa konsep perjanjian. Pada tanggal 25 Maret  1677 perjanjian  dengan   Mataram  ditanda tangani.   

Isi  ringkas perjanjian  tersebut adalah :
1. VOC memiliki hak monopoli pembelian beras sesuai harga pasar.
2. Segala biaya perang harus ditanggung oleh Mataram
3. Batas sebelah barat Kesultanan Mataram, yaitu daerah antara Cisadane dan Cipunagara diserahkan kepada Kompeni.

Semua permintaan Kompeni itu disetujui oleh Amangkurat  I kecuali permintaan  yang ketiga.  Amangkurat  I  menyatakan  bahwa  daerah-daerah antara Cisadane dan Cipunagara terdapat wilyah milik Pangeran Panembahan yaitu   antara   Citarum   dan   Cipunagara. Dengan   demikian,   daerah yang diserahkan kepada Kompeni hanya antara Cisadane dan Citarum.

Perjanjian  antara  Kompeni  dengan  Mataram  itu  bagi  pihak  Pageran Panembahan (Sumedang) berarti :
1. Kekuatan dan kekuasaan Mataram sangat menurun. Mataram sudah tidak mampu menguasai daerah bawahannya.

2. Daerah antara Citarum dan Cipunagara tidak diuasai oleh Amangkurat I, melainkan  oleh  Pangeran  Panembahan  (Sumedang).  Ini  berarti  bahwa daerah tersebut termasuk wilayah Sumedang. Ini juga berarti bahwa batas wilayah  kabupaten  Sumedang  adalah  sebelah selatan:  Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara: Laut Jawa, sebelah barat: kali Cisadane dan sebelah timur: Cirebon. 

Kenyataan     seperti     itu      menginsiprasi     Pangeran     Panembahan mengembalikan kebesaran  Sumedang  seperti zaman Sumedanglarang.  Akan tetapi,  ia  menyadari  bahwa tidak  mungkin  melaksanakan  cita-citanya  itu sendirian. Ia harus minta bantuan pihak lain. Pihak mana yang layak dimintai bantuan,   pilihan   jatuh   pada   Banten.   Ternyata   Banten  menyambut   baik  permohonan   Pangeran    Panembahan    itu,    namun    namun Banten minta kompensasi, yaitu Sumedang harus membantu Banten dalam menghadapi Kompeni dan Mataram. Permintaan Banten itu tidak disanggupi oleh Pangeran Panembahan.

Setelah penolakan atas permintaan Banten itu, Pangeran Panembahan menyadari akan akibatnya, yaitu Banten akan memusuhi dan bahkan akan menyerang Sumedang. Untuk mengantisipai hal itu, Pangeran Panembahan menyurati  VOC  yang  isinya  adaal h  pihak  Sumedang  akan  menyerahkan wilayah antara Batavia dan Indramayu kepada VOC. Maksud penyerahan itu adalah supaya VOC menutup muara Cipamanukan dan pantai utara sehingga bisa mencegat tentara Banten.

Sikap cerdas Pangeran Panembahan ini sesungguhnya memanfaatkan kekurangpahaman pihak  VOC  mengenai  wilayah.  Sesungguhnya,  wilayah yang diserahkan Pangeran Panembahan itu  sudah menjadi milik  VOC yang merupakan pemberian Amangkurat I sebagai kompensasi atas bantuan VOC, sebagaimana tertuang dalam perjajian tanggal 25 Februari 1677 maupun 19-20 Oktober 1677.

VOC menerima tawaran Pangeran Panembahan itu karena dalam hal menghadapi Banten ada kepentingan yang sama. VOC pun selalu mendapat gangguan   dan  ancaman   dari   pihak  Banten.VOC   segera   mengamankan Karawang    dan    menghalangi   mamsuknya    pasukan  Banten. Pangeran Panembahan pun leluasa  memperkuat  kedudukan  dan  pemerintahannya  di Sumedang.

Guna  menghalau  serangan  Banten pun  Pangeran  Panembahan mengadakan  kerja  sama  dengan  Kepala  Batulayang  yang  bernama Rangga  Gajah  Palembang,  cucu  Dipati  Ukur.  Pangeran  Panembahan  berpendapat bahwa   Batulayang   akan   membantunya  melawan  Banten   dan   Mataram, mengingat kakeknya dulu dihukum mati oleh Mataram.  Selanjutnya Pangeran Panembahan  pun  menguasai  Ciasem,   Pamanukan,   Parigi  dan  Karawang. Penguasa  di daerah-daerah  itu  pun  diganti oleh  orang-orang  yang  berpihak kepada Pangeran  Panembahan.   Menyusul  kemudian,   takluk   juga   kepada Pangeran Panembahan daerah Indramayu. Dengan demikian,  seluruh daerah pantai utara dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Ini dijadikan Sumedang sebagai  daerah  penyangga  yang isa  melindungi Sumedang  dari serangan musuh.

Saat  Pangeran  Panembahan  sibuk menaklukkan  daerah  utara,  pihak Banten memanfaatkan momentum ini untuk menyiapkan serang ke Sumedang. Sultan Banten mendapat bantuan dari dua orang bekas tawanan Trunojoyo dan bupati  Bandung,  Wiraangun-angun.  Tidak  hanya  Bandung,  Sukapura dan Parakanmuncang pun membatu Banten. 

Mengetahui persiapan Banten seperti itu, VOC pun mempersiapkan pasukannya di daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaannya yaitu di daerah antara kali Cisadane dan Citarum, juga antara Batavia dan Indramayu. Dengan demikian, Sumedang pun terlindungi baik dari arah barat maupun utara.

Akan tetapi di luar dugaan, pasukan Banten dalam jumlah yang cukup banyak pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak menuju Sumedang tidak melalui utara, tetapi melalui daerah yang longgar dari penjagaan VOC, yaitu Maroberes (Muaraberes, kira-kira 15 km sebelah utara Bogor). Pasuukan Banten yang lain menuju  Sumedang  melalui  Tangerang  ke  Patimun. Pada  awal  Mei 1678 wadyabalad  Banten  telah  sampai di  Sumedang.  Kota  Sumedang dikepung pasukan Banten hampir satu bulan lamanya. Akan tetapi berkat tangguhnya pertahanan  Sumedang,  pasukan  Banten  tidak  berhasil  menguasai ibu  kota Sumedang.

Bertepatan dengan waktu penyeranga pasukan Banten ke Sumedang, di ibu kota Banten sendiri sedang konflik antara Sultang Ageng Tirtayasa dengan anaknya,  Sultan  Haji.  Untuk menghadapi  perlawanan  Sultan  Haji,  Sultang Ageng Tirtayasa kekurangan tenaga, sehingga pasukan Banten yang berada di Sumedang dipanggil pulang. Akibatnya adalah pemimpin pasukan Banten menarik mundur pasukannya untuk segera pulang ke Banten. Pasukan Banten tidak  begitu  saja  bisa  meninggalkan  Sumedang,  karena  pasukan Sumedang mengejarnya sehingga terjadilah peperangan di Tegalluar. Keajdian ini berlangsung pada awal Juni 1678. Pemimpin pasukan Banten, Raden Senapati tewas  di  medan  pertempuran. Pasukan  Sumedang  tidak  hanya  berhasil mengusir  tentara  Banten,  tapi juga  berhasil merampas  20  pucuk  senapan. Gagallah serangan Banten terhadap Sumedang. 

Pada saat itu di Mataram pun terjadi pergantian penguasa, Amangkurat I  diganti  oleh Amangkurat  II. Amangkurat  II  mengirim  utusan bernama Dirapraja ke Sumedang untuk mengontrol dan meminta agar bupati Sumedang tetap  setia  kepada  Mataram.    Akan  tetapi Pangeran  Panembahan menolak permintaan itu, Sumedang menyatakan melepaskan diri dari Mataram.

Atas kemenangan Sumedang mengusir Banten ini pada tanggal 14 Juni 1678  Kompeni menyampaikan  ucapan  selamat.  Kompeni  pun  berjanji akan membantu Sumedang dengan mengirim persenjataan. Satu bulan  kemudian, yakni  tanggal  19  Juli  1678  VOC mengutus Jochem  Michels  ke  Sumedang menghadiahi  senjata dan  mesiu. Saat  itu  pun penjagaan muara Ciasem dan Pamanukan dengan kapal-kapal VOC berakhir. Atas kepiawaian Pangeran Panembahan  dalam  bernegosiasi,  pada   tanggal  7   Agustus   1678   Jochem Michels datang lagi ke Sumedang dengan menghadiahkan enam meriam, 70 kalantaka (meriam kecil), 70 bandelir (ikat bahu yang menyilang di dada), 150 peluru meriam dan satu tong peluru senapan).

Memanfaatkan  kehadiran  Jochem Michels  di  Sumedang,  Pangeran Panembahan meminta pejabat Kompeni ini untuk membuat pernyataan bahwa Pangeran Panembahan diangkat menjadi raja. Namun Jochem Michels menolaknya. 

Tiga   bulan   kemudian   setalah   pasukan   Banten   mundur,   pada   8 September 1678 Kesultanan Banten mengirimkan pasukan sebanyak 10 kapal yang membawa 1000 prajurit untuk menyerang lagi Sumedang. Tanpa ada perlawanan pasukan Banten berhasil memasuki muara Ciparagi, Ciasem dan Pamanukan. Daerah-daerah itu dihancurkan. Bupati Pamanukan, Wangsatanu, terkepung. Bupati Ciasem, Rd. Imbawangsa, yang juga saudara sepupu Pangeran Panembahan,  ditawan  dan  kemudian  dibunuh.   Untuk  menuju Sumedang, pasukan Banten dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Cilikwidara dan Cakrayuda, yang merupakan menantu Wiraangun-angun, bupati Bandung. Turut membatu Banten juga bupati Sukapura. Gabungan berbagai kekuatan itu mengepung Sumedang pada  akhir bulan Ramadhan   dan   mereka   menyerang Sumedang saat lebaran yang bertepatan pada hari Jumat, tepatnya tanggal 18 Nopember 1678. Rakyat dan pembesar Sumedang yang sedang berada di Masjid Tegalkalong banyak yang gugur. 


Pejabat Sumedang yang gugur di antaranya : Pangeran Tumenggung Tegalkalong, Jagatsatru Aria  Santapoera, SatjapatiRd. Dipa, Mas Alom  dan Nyi Mas  Bajoen

Sebagian   keluarga   Pangeran Panembahan    ditawan,  yaitu :  Rd. SingamanggalaRd. Bagoes WeruhRd.  Tanoesoeta  sedangkan  Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) sendiri berhasil lolos. 

Atas  kekalahan   ini   Pangeran   Panembahan   meloloskan   diri   dan meninggalkan Sumedang menuju ke Indramayu pada bulan Februari 1679. Sebagai konsekuensi atas kemenangannya, Sumedang dikuasai oleh Banten. Oleh Kesultanan Banten diangkat Cilikwidara sebagai wali pemerintahan di Sumedang dengan gelar Ngaebehi Sacadiparana. Diangkat menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja.

Keberadaan Pangeran Panembahan di Indramayu tidak lama. Untuk mendapat  bantuan, kemudian beliau  berangkat  ke Galunggung, kerena yang berkuasa  di sana  Demang Galunggung  yang  bernama  Raden  Sacakusumah, adalah  pamannya.  Ia  adalah  cucu Prabu Geusan  Ulun.  Di  Galunggung  ia bertemu juga dengan Tumenggung Tanubaya, bupati Parakanmuncang. Di Galunggung  Pangeran  Panembahan berupaya  menyusun  pasukan seadanya. 

Tumenggung Tanubaya diangkat sebagai pemimpin pasukan. Setelah persiapan dianggap cukup,  kemudian  Tumenggung  Tanubaya  menyerang  Sumedang. Tanpa   perlawanan  yang  berarti Sumedang   dapat   dikuasai  kembali   oleh Pangeran Panembahan. Cilikwidara pun melarikan diri ke wilayah utara. Pada bulan Mei 1679 Cilikwidara mengacau Pamanukan, Indramayu, Cirebon dan Tegal. Di sana pun Cilikwidara menyusun kekuatan untuk kembali menyerang Sumedang.   Selang  empat   belas   hari     kemudian,   Cilikwidara   menyerang Sumedang.   Pangeran     Panembahan    tidak    bisa     mempertahankan kemenangannya. Sumedang  berhasil dikuasai lagi oleh Cilikwidara. Dengan demikian Cilikwidara kembali menduduki jabatan sebagai bupati Sumedang, bahkan   lebih   leluasa. Pangeran Panembahan  kembali  melarikan diri ke Indramayu. Hingga tahun 1680 keadaan di Sumedang tidak berubah.

Keadaan di Banten sendiri terjadi konflik yang semakin runcing antara Sultan Ageng Tirtayasa  dengan  anaknya,  Sultan  Haji.  Konflik  itu  bahkan sampai  konflik   bersenjata. Karena  terdesak,   akhirnya  Sultan Haji   minta bantuan VOC untuk mengalahkan ayahnya. Kesempatan in tidak disia-siakan oleh VOC. Seperti sudah biasa setiap bantuan VOC selalui disertai kompensasi berupa  monopoli perdagangan dan  penguasaan  wilayah.  Selain  itu, bantuan VOC   kepada   Sultan  Haji  pun  diesrtai  permintaan   supaya   Banten tidak mengganggu   Cirebon   dan   Sumedang.   Setelah   Sultan   Haji   memenangi peperangan itu, ia pun segera memanggil pulang Cilikwidara dari Sumedang. Cilikwidara mwninggalkan sumedang pada awal September tahun 1680 dan baru sampai di Banten tanggal 14 Oktober 1680. Dua bulan setelah Cilikwidara meninggalkan  Sumedang,  tanggal  27  Januari  1681 Pangeran  Panembahan kembali ke Sumedang. 

Untuk mengamankan keadaan dalam negeri yang dirasakan banyak terjadi gangguan, Pangeran   Panembahan   berinisiatif   membentuk  lasykar penjaga  keamanan  yang  disebut Pamuk.  Pasukan  ini  terdiri  atas  40 orang terpilih. Mereka dikirim ke daerah-daerah yang dianggap perlau mendapatkan bantuan pengamanan. 

Pangeran Panembahan pun memerintahkan kepada rakyatnya untuk membuka hutan guna dijadikan sawah. Dengan demikian di Sumedang pun jumlah  sawah  semakin  luas.  Sebagian dari  sawah  itu  dijadikannya  sebagai carik atau bengkok bagi para pamuk. Dengan demikian, Pangeran Panembahan pun dianggap pendiri lembaga Pamuk dan pencipta sistem carik di Sumedang. Dalam perkembangan selanjutnya, tanah carik itu tidak hanya diberikan kepada Pamuk, tapi juga kepada para pejabat kabupaten dan pamong-pamong desa. 

Pangeran   Panembahan   pun   menata  kembali   Sumedang.   Ibu   kota kebupaten   pada awal   Mei  1681   dipindahkan   dari  Tegalkalong   ke  kota Sumedang  sekarang.  Di  kota yang  baru  itu  telah  ada  kira-kira  70  rumah. Rakyat yang mengungsi selama Sumedang dikuasai oleh Cilikwidara dipanggil kembali.

Sementara itu, Kompeni menganggap mengangap seluruh Priangan berada  dibawah kekuasaannya. Oleh  karena  itu,  Kompeni  menugasi  Jacob Couper untuk menata daerah yang dulu berada di bawah pretensi Mataram. Pada tanggal 15 November 1684 diadakan pertemuan antara Kompeni dengan semua  bupati Priangan  bertempat  di benteng Bescherming,  Cirebon.  

Dalam pertemuan  itu  dibuat  surat  keputusan  (besluit)  yang ditandatangani  pada tanggal 15 November 1684. Dalam besluit itu Kompeni mengangkat bupati-bupati di Priangan untuk memerintah di daerah masing-masing sebagai wakil Kompeni. Pengangkatan para bupati itu disertai oleh pembagian cacah dalam jumlah yang bervariasi.21 Dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa :
1. Pangeran Panembahan mendapat 1150 cacah ditambah 185 cacah yang tinggal di Tanjungpura, Bobos, Cileungsir, Ciasem, Galobaligung dan Cipinang.
2. Demang Timbanganten mendapat 1125 cacah.
3. Tumenggung Sukapura mendapat 1125 cacah.
4. Tumenggung Parakanmuncang mendapat 1076 cacah.
5. Dalem Imbanagara mendapat 708 cacah.
6. Dalem Kawasen mendapat 605 cacah. 
7. Sepuluh puluh kuwu di Bojonglopang masing-masing mendapat 20 cacah. 

Dengan adanya besluit itu terkandung isyarat bahwa esjak  15  November 1684 seluruh kabupaten di Priangan telah berada di bawah kendali VOC. Namun demikian, keberadaan besluit ini tidak begitu memengaruhi Rangga Gempol III. Ia tetap memposisikan diri sebagai kabupaten yang “merdeka”, tidak taat kepada VOC, tidak pula taat kepada Mataram.
Akan tetapi dalam pandangan VOC surat keputusan  tanggal  15 November itu sudah final. Sebagai konsekuensinya, VOC perlu mengangkat pejabat pribumi yang mengawasi para bupati di Priangan, yang dulu disebut Wedana Bupati. Mengetahui hal itu, maka Pangeran Panembahan mengajukan permohonan kepada Kompeni agar dirinya diangkat sebagai Wedana Bupati. Yang  dijadikan  pertiimbangan  oleh  Pangeran  Panembahan  adalah bahwa dirinya memiliki hak  historis atas itu karena kakeknya dulu membawahi 44 dalem  di  Priangan.  Dalam  surat pengajuannya  itu  Pangeran  Panembahan menyebutkan  sejumlah dalem yang  berbakti kepada kakeknya,  di antaranya adalah :

1.  Di Bandung :
(1) Demang Timbanganten
(2) Tumenggung Batulayang
(3) Ngabei Wirasuta (di Kahuripan)
(4) Natasuta (di Tarogong)
(5) Ngabei Mangunyuda (di Curugagung) 
(6) Wirapati (di Ciukur)
(7) Ngabei Maruyung (di Ciukur)
(8) Ngabei Astramanggala (di Ciukur). 

2.  Di Parakanmuncang : 
(1) Kiai Kanduruan (di Selacau) 
(2) Ngabei Cucuk
(3) Ngabei Tandadimanabaya
(4) Rujak Gedong (di Kadungora) 
(5) Wanantaka (di Kandangwesi)
(6) Ngabei Somahita (di Sindangkasih) 
(7) Demang Yuda Mardawa Galunggung 
(8) Ngabei Sutabaya Cihaur
(9) Ngabei Pranayuda (di Taraju Turundatar).

3.  Di Sukapura :
(1) Kiai Rangga Karang
(2) Ngabei Wirawangsa (di Parung)
(3) Kanduruan Magatsari (di Panembong) 
(4) Demang Sacapati (di Batuwangi)
(5) Demang Saungganang
(6) Ngabei Yudawangsa (di Taraju) 
(7) Ngabei Yudakarta (di Taraju) 
(8) Wirakusumah (di Suci)
(9) Martawadana (Panaka) 
(10) Indrajaya (di mandala) 
(11) Martawana (di Cisalak)
(12) Wirawangsa (di Sukakerta).

Meskipun permohonan Pangeran Panembahan untuk diangkat sebagai bupati wedana sedemikian rupa, tapi Kompeni tidak memenuhinya. Yang menjadi alasan penolakan adalah :
Pertama, di mata Kompeni Pangeran Panembahan atau Rangga Gempol III adalah bupati yang tidak loyal kepada Kompeni. 

Kedua,  dalam   pandangan   Kompeni   seluruh   bupati   di   Priangan   punya kedudukan yang   sama.   Bila   bupati   wedana   salah   satu   darinya   akan menimbulkan sikap  iri yang lainnya.

Oleh karena itu, Kompeni mempertimbangkan bahwa yang layak untuk jabatan Gubernur Kompeni (Wedana Bupati) di Priangan adalah tokoh dari luar Priangan.  Orang  yang dianggap  memenuhi  kriteria adalah  Pangeran  Aria Cirebon.   Pengangkatan   tokoh   ini pun   disetujui   oleh   Sunan   Maatram. Pengangkatan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur Kompeni di Priangan dituangkan dalam surat keputusan (besluit) tanggal 9 Februari 1706. Tugasnya adalah  mengawasi dan mengordinasi bupati-bupati di Priangan agar  mereka melaksanakan  segala kewajibanya kepada  Kompeni.  Kenyataan  seperti itu membuat Pangeran Panembahan kecewa berat, sehingga ia melakukan pembangkangan terhadap Kompeni. Pada tanggal 13 Maret 1704 Pangeran Panembahan mengembalikan besluit pengangkatannya sebagai bupati.

Keberadaan Priangan berada di bawah VOC secara de facto dan de jure baru terjadi pada tanggal 5 Oktober 1705. Pada momentum tersebut Mataram menyerahkan semua daerah yang dikuasainya yang terletak di sebelah timur Cipunagara dan Citarum. Dengan demikian, sejak saat itu seluruh daerah di Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Kompeni.

Posting Komentar

0 Komentar