Ticker

6/recent/ticker-posts

Situs Hanjuang Kutamaya di Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Utara

Kutamaya satu lokasi bekas Ibukota Sumedanglarang Raja/Ratu di Kutamaya sebelum Pangeran Santri memperisteri Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun atau Ratu Satyasih 

“Sasakala Kutamaya” menceritakan : 
"Ciguling adalah tempat bekas ibukota Sumedanglarang yang pertama didirikan oleh Prabu Gajah Agung, dan diteruskan ditinggali oleh keturunan Prabu Gajah Agung hingga sampai pada Ratu Pucuk Umum putra Nyimas Ratu Patuakan (Ratu Rendra Kasih) dari Sunan Corendra (Santa Jaya / Sonda Sonjaya), putranya Prabu Munding Sari Ageung (Jaka Puspa) dan Mayang Karuna.  Sesudah Ratu Pucuk Umun atau Ratu Inten Dewata diperisteri oleh Pangeran Santri itu keraton disatukan,  dari Ciguling dipindahkan ke Kutamaya"
Dua tempat Situs Hanjuang di Kutamaya ditanam pada masa yang berlainan, yaitu :
1. Hanjuang disebrang sungai kedaton Kutamaya ditanam pada masa dinobatkannya Pangeran Angkawijaya 1580 M sebagai Nalendra Raja Sumedang Larang dengan Gelar Prabu Geusan Ulun oleh sesepuh yang paling dituakan di Pajajaran yaitu Pangeran Jaya kusumah atau lebih kita kenal Senopati Yuda Jaya Perkosa yang kemudian menjadi Patih Agung Kerajaan Sumedang Larang, sebagai pertanda bahwa Sumedang Larang sebagai pelanjut ruh eksistensi marwah Sunda Pakwan Padjadjaran.



2. Pada peristiwa Geger Kutamaya, dalam Peristiwa Ratu Harisbaya 1585 M ditanam pula di tengah Alun-Alun Kedaton Kutamaya lokasinya di dekat Mimbar Masjid Agung Kutamaya Pohon Hanjuang yang maksud tujuan ditanamnya Pohon Hanjuang ini berbeda dengan Hanjuang yang ditanam  di sebrang sungai dan riwayat semuanya masyhur sebagai floklore dan ditulis dalam Babad. 



1. Kisah Hanjuang di Kutamaya
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu (Pangeran Girilaya) penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik.

Harisbaya merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton – Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di Pajang.

Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih.

Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Prabu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.

Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang Prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedanglarang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup? Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai. 

Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedanglarang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.

Jaya Perkosa kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah menanyakan kenapa Sang Prabu meninggalkannya tanpa melihat pohon hanjuang dulu, setelah mendengar penjelasan dari Prabu Geusan Ulun bahwa pindahnya Ibukota atas anjuran Nangganan maka Djaya perkosa marah kepada Nangganan karena merasa di khianati oleh saudaranya bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada Prabu Geusan Ulun. Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih diberikan ke Cirebon. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya.

Sebelum menikah dengan Harisbaya, Prabu Geusan Ulun sudah mempunyai seorang istri yaitu Nyi Mas Gedeng Waru puteri Sunan Pada dari Sindangkasih, dari istri pertamanya ini memiliki 14 anak, yaitu :
1. Pangeran Rangga Gede.
2. Aria Wiraraja (Wiraraja 1)
3. Kiai Rangga Gede.
4. Kiai Patrakelasa.
5. Ngabehi Watang.
6. Arya Rangga Pati Haur Kuning.
7. Nyi Demang Cipaku.
8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda.
9. Nyi Mas Rangga Wiratama.
10. Rangga Nitinagara.
11. Nyi Mas Rangga Pamande.
12. Nyi Mas Dipati Ukur.
Dan istri kedua Prabu Geusan Ulun yaitu Ratu Harisbaya dikaruniai putra yaitu :
13. Aria Soeriadiwangsa.
14. Tumenggung Tegalkalong.
Dari istri ketiga Prabu Geusan Ulun yaitu Nyiman Pasarean dikarunai putra, yaitu :
15. Kiayai Demang Cipaku.

Posting Komentar

0 Komentar